Menurut cerita rakyat yang berkembang di Kalimantan Timur, konon di Tanah Pasir sudah berlangsung sistem pemerintahan kerajaan yang teratur. Rakyat hidup berkecukupan. Kekuasaan raja sangat luas. Daerah kekuasaannya sampai ke bagian selatan. Daerah itu berupa sebuah teluk yang sangat indah. Selain indah, daerah teluk itu juga makmur karena mengandung hasil bumi dan hasil laut yang berlimpah-limpah.
Kemakmuran daerah sepanjang teluk itu sangat dirasakan oleh masyarakat yang bermukim di tempat itu. Sebagian dari penduduk itu bermata pencaharian sebagai petani. Sebagian lagi bermata pencaharian sebagai nelayan. Masyarakat yang bermukin di daerah itu hidup dalam suasana damai, tenang, dan makmur. Semua anggota masyarakat hidup rukun. Mereka saling menolong satu sama lain. Pendek kata, masyarakat di sepanjang teluk itu hidup dengan nyaman.
Kenyamanan hidup masyarakat di daerah teluk ini juga didukung oleh sikap bijaksana sultan yang memerintah pada saat itu. Sultan Aji Muhammad, demikianlah nama sultan yang berkuasa saat itu. Nama sang sultan memang melambangkan kebesaran serta kesucian pemiliknya.
Sultan Aji Muhammad mempunyai seorang putri. Namanya Aji Tatin. Sultan Aji Muhammad sangat menyayangi Aji Tatin. Beliau sangat bangga akan putrinya itu. Aji Tatin seorang putri yang berwajah cantik jelita.
Tahun berganti tahun, masa pun segera berlalu. Aji Tatin putri Sultan Aji Muhammad pun tumbuh dewasa. Tiba saatnya Aji Tatin menikah. Maka, ayahandanya, Sultan Aji Muhammad, menikahkan putranya itu dengan seorang bangsawan. Putri Aji Tatin menikah dengan Raja Kutai.
Pesta pernikahan Aji Tatin dan Raja Kutai berlangsung dengan sangat meriah. Semua rakyat Sultan Aji Muhammad ikut menikmatinya. Mereka juga merasakan kebahagiaan seperti yang dirasakan keluarga kerajaan.
Setelah pesta pernikahan usai, Putri Aji Tatin menghadap Sultan Aji Muhammad, ayahandanya.
“Ayahanda, izinkan putrimu mengutarakan satu permintaan kepada Ayah,” demikian kalimat pertama yang diucapkan Aji Tatin saat menghadap ayahnya.
“Permohonan apakah yang Ananda inginkan dari ayahanda?” tanya Sultan Aji Muhammad kepada putrinya itu.
“Ayah, berkenanlah memberikan warisan kepada ananda demi masa depan ananda kelak,” demikian permohonan Aji Tatin kepada ayahnya.
Mula-mula ayahnya terkejut dengan permintaan putrinya itu. Namun, dengan senang hati Sultan Aji Muhammad pun mengabulkan permohonan putrinya itu.
“Anakku, ayah akan memberikan daerah teluk itu untukmu. Kuasailah daerah itu! Buatlah rakyat semakin makmur dan sejahtera. Niscaya, mereka akan selalu mengabdi kepadamu,” demikian pesan Sultan Aji Muhammad kepada anaknya itu.
“Terima kasih, Ayah. Putrimu pasti akan selalu menuruti nasihat Ayah. Saya akan membuat rakyat semakin makmur dan sejahtera.”
Sultan Aji Muhammad lega mendengar kata-kata putrinya itu. Maka, sejak saat itu daerah teluk yang subur, makmur, dan sejahtera itu menjadi wilayah kekuasaan Aji Tatin.
Namun, agaknya pesan Sultan Aji Muhammad tidak diindahkan oleh putrinya itu. Putri Aji tatin pun meminta rakyatnya membayar upeti kepadanya. Mau tidak mau rakyat di sepanjang teluk yang dikuasai Putri Aji Tatin pun memenuhi permintaan pemimpinnya itu.
Pada suatu ketika Putri Aji Tatin meminta rakyatnya memberi upeti kepadanya berupa papan. Rakyat pun menyediakan upeti papan untuk Putri Aji Tatin.
Tibalah saat meminta upeti itu kepada rakyat. Orang-orang kepercayaan Putri Aji Tatin pun mendatangi rakyat di teluk daerah kekuasaan junjungannya itu. Dengan dipimpin oleh Panglima Sendong, mereka menuju teluk itu dengan perahu. Mereka menggunakan tanggar atau galah yang disebut tokong untuk mendayung perahu.
Satu per satu mereka mengumpulkan papan upeti rakyat. Papan-papan itu kemudian dibawa ke pantai dan dinaikkan ke dalam perahu. Setelah semua papan terangkut, perlahan-lahan mereka mendayung perahu meninggalkan teluk itu. Namun, malang tak bisa ditolak, untung tak bisa diraih. Di tengah perjalanan perahu yang memuat papan upeti rakyat itu diterjang angin topan. Tiba-tiba saja angin topan yang dahsyat datang menerjang perahu Aji Tatin. Tak pelak lagi perahu itu pun terbalik dan penumpangnya jatuh ke air. Dengan perlahan-lahan, para penumpang, yaitu Panglima Sendong dan anak buahnya, berusaha membawa perahu yang sarat muatan itu ke pantai.
“Ayo, kita bawa perahu ini ke pantai!” teriak Panglima Sendong mengajak anak buahnya mendorong perahu ke pantai.
“Ya, ayo! Kita dorong bersama-sama!” teriak salah seorang anak buahnya.
Dengan segala tenaga, mereka pun berusaha mendorong perahu itu merapat ke pantai. Akan tetapi, mereka tidak berdaya. Perahu sangat berat. Muatan papan dalam perahu itu semakin menambah berat perahu. Angin topan yang begitu dahsyat dan gelombang ganas pun menggagalkan usaha mereka untuk merapatkan perahu itu.
Dengan tiba-tiab perahu itu pun terhempas ke sebuah pulau karang. Perahu yang sarat muatan berupa papan itu pun karam. Tokong atau galah pendayung juga karam. Panglima Sendong, pemimpin anak buah Putri Aji Tatin, beserta anak buahnya pun meninggal.
Peristiwa karamnya perahu yang membawa papan itu kemudian digunakan untuk menamai kota Balikpapan. Balikpapan maksudnya papan yang terbalik karena diterpa badai atau topan yang maha dahsyat.
Sementara itu pulau karang yang menyebabkan peristiwa terbalinya perahu itu makin besar. Pulau karang itu lama-kelamaan menjadi sebuah pulau yang ditumbuhi pohon-pohonan. Sampai sekarang pulau itu dinamai Pulau Tukung. ***
Sumber:
M.G. Hesti Puji Rastuti, 2007, Kumpulan Cerita Rakyat, Yogyakarta: Citra Aji Parama
Posting Komentar